Minggu, 15 Februari 2015

Sisi Fungsional dan Spiritual Arsitektur Jawa pada Rumah Joglo



Setiap kali kita memasuki rumah Joglo sebagai rumah adat Jawa, kita bukan sekedar memasuki sebuah gedung melainkan sebuah alam pikiran atau pandangan hidup (world view) tertentu. Bagi orang Jawa, rumah bukan hanya tempat tinggal secara fisik (house) melainkan tempat di mana jiwa menemukan tempat berdiam (home). Dengan kata lain, bagi orang Jawa, rumah berfungsi baik fisikal maupun spititual. Sebuah fungsi yang kian terkikis dalam arsitektur modern yang lebih memandang rumah dari fungsi fungsi fisiknya daripada spiritual.


Rumah joglo mempunyai kerangka bangunan utama yang terdiri dari soko guru, yaitu empat tiang utama penyangga struktur bangunan, serta tumpang sari berupa susunan balok yang disangga oleh soko guru teresebut. Empat tiang utama ‘saka guru’ itu berada di pusat rumah, sebagai center of universe dari kosmologi orang Jawa. Pada pusat tersebut, bangunan rumah kemudian melebar dengan menambah tiang-tiang lain di sekitarnya, baik di kanan, kiri, depan maupun belakang, hingga membentuk sebuah rumah.

Cara orang Jawa membangun rumah, dengan soko guru sebagai pusat rumah dan tiang-tiang lain mengikuti di sekelilingnya, mirip dengan cara pandang masayarakat Jawa dalam melihat masyarakat. Sultan ditempatkan berada di pusat dunia, yang mengendalikan tatanan (Hamengkubuono) atau yang “menggenggam bumi” (Pakubumi) atau “mengendalikan alam” (Paku Alam). Di pusatnya, pandangan kemudian bergerak melebar dengan disangga daerah-daerah lain di sekitarnya, mulai kabupaten sampai desa. Maka, tatanan rumah, politik, sosial dan spiritual Jawa mempunyai kemiripan atau paralelitas satu sama lain. Inilah yang disebut dengan desain mandala dalam kajian kosmologi tradisional dan arkais.

Konstruks tumpang sari pada soko guru Rumah Joglo


Rumah Joglo dibagi ke dalam tiga bagian/ruang. Pendapa merupakan ruangan pertemuan di mana tuan rumah menemui para tamu. Pendopo tidak mempunyai dinding atau terbuka, yang artinya orang Jawa ingin bersikap ramah kepada orang lain. Umumnya, pendopo hanya diberi tikar, tanpa meja dan kursi. Tujuannya agar tidak ada batas yang tegas antara tuan rumah dan para tamunya karena bisa berbincang dengan rukun dan akrab.

Kemudian ruang Pringgitan. Terletak di tengah atau ruang yang dipakai untuk mengadakan pertunjukan wayang kulit. Secara konseptual, makna pringgitan di mana sosok guru berdiri, adalah ruang yang melambangkan pemilik rumah sebagai simbol atau bayang-bayang  dari Dewi Sri (dewi padi) yang memberi kehidupan kehidupan, kesuburan, dan kebahagiaan (Hidayatun, 1999:39). Menurut Rahmanu Widayat (2004: 5), pringgitan adalah ruang antara pendhapa dan dalem (omah jero) sebagai tempat untuk pertunjukan wayang (ringgit), pertunjukan wayang yang berhubungan dengan titual ruwatan untuk anak sukerta (anak yang menjadi mangsa Bathara Kala, dewa raksasa yang maha hebat).

Konstruksi Rumah Joglo


Bagian terakhir adalah omah jero, yaitu ruang belakang atau dalem sebagai ruang keluarga. Ruang ini memiliki beberapa bagian, yaitu ruang keluarga dan beberapa kamar atau yang disebut senthong. Dulu, kamar atau senthong hanya dibuat tiga kamar saja, yaitu kamar pertama untuk tidur atau istirahat laki-laki, kedua kamar kosong namun tetap diisi tempat tidur atau amben lengkap dengan perlengkapan tidur untuk tamu dan kebutuahn lain, dan yang ketiga diperuntukkan tempat tidur atau istirahat bagi kaum perempuan.

Di ruang ndhalem disimpan harta pusaka spiritual serta padi hasil panen pertama. Juga ada kamar senthong krobongan yang berisi ranjang, kasur, bantal, dan guling, sebagai kamar malam pertama (buka klambu) bagi para pengantin baru. Hal tersebut dikarenakan, bagi orang Jawa, hilangnya keperawanan dan keperjakan merupakan peristiwa kosmis yang suci, merujuk pada penyatuan Dewa Kamajaya dengan Dewi Kama Ratih, yaitu dewa-dewi cinta perkawinan (Mangunwijaya, 1992: 108).

Dalam rumah Jawa dari kelas bangsawan Yogyakarta, senthong krobongan diisi dengan bermacam-macam benda-benda keramat untuk memediasi pemiliknya dengan dunia suci (sakral). Macam-macam benda tersebut berbeda dengan benda-benda milik petani. Artinya,  kepemilikan benda tersebut menjadi penanda adanya perbedaan status. Namun begitu, keduanya sama-sama berkaitan dengan kesuburan, kebahagiaan rumah tangga (Wibowo dkk., 1987 : 63).

Melihat gambaran di atas, kita melihat adanya prinsip hirarki dalam tata ruang rumah Jawa. Setiap ruang memilii fungsi, makna dan nilai sendiri.  Jejeran ruang mulai pendopo sampai bagian belakang (pawon dan pekiwan) unsur spiritualnya lebih kuat daripada fungsionalnya. Memasuki rumah Jawa, mulai dari teras hingga ke bagian ndhalem ini, kita seperti sedang menuju pusat sebuah dunia dari arah pinggirannya, tak ubahnya menangkap inti cahaya suci dari pijar pancarannya di tepian. Membangun dan menempati rumah, dengan demikian, bagi orang Jawa merupakan sebuah ritual alias ibadah, yang dilakukan dengan kecakapan teknis sekaligus estetis.


Sumber Referensi :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar