Setiap
kali kita memasuki rumah Joglo sebagai rumah adat Jawa, kita bukan sekedar
memasuki sebuah gedung melainkan sebuah alam pikiran atau pandangan hidup
(world view) tertentu. Bagi orang Jawa, rumah bukan hanya tempat tinggal secara
fisik (house) melainkan tempat di mana jiwa menemukan tempat berdiam (home).
Dengan kata lain, bagi orang Jawa, rumah berfungsi baik fisikal maupun
spititual. Sebuah fungsi yang kian terkikis dalam arsitektur modern yang lebih
memandang rumah dari fungsi fungsi fisiknya daripada spiritual.
Rumah
joglo mempunyai kerangka bangunan utama yang terdiri dari soko guru, yaitu
empat tiang utama penyangga struktur bangunan, serta tumpang sari berupa
susunan balok yang disangga oleh soko guru teresebut. Empat tiang utama ‘saka
guru’ itu berada di pusat rumah, sebagai center of universe dari kosmologi
orang Jawa. Pada pusat tersebut, bangunan rumah kemudian melebar dengan
menambah tiang-tiang lain di sekitarnya, baik di kanan, kiri, depan maupun belakang,
hingga membentuk sebuah rumah.
Cara
orang Jawa membangun rumah, dengan soko guru sebagai pusat rumah dan
tiang-tiang lain mengikuti di sekelilingnya, mirip dengan cara pandang
masayarakat Jawa dalam melihat masyarakat. Sultan ditempatkan berada di pusat
dunia, yang mengendalikan tatanan (Hamengkubuono) atau yang “menggenggam bumi”
(Pakubumi) atau “mengendalikan alam” (Paku Alam). Di pusatnya, pandangan
kemudian bergerak melebar dengan disangga daerah-daerah lain di sekitarnya,
mulai kabupaten sampai desa. Maka, tatanan rumah, politik, sosial dan spiritual
Jawa mempunyai kemiripan atau paralelitas satu sama lain. Inilah yang disebut
dengan desain mandala dalam kajian kosmologi tradisional dan arkais.
Konstruks
tumpang sari pada soko guru Rumah Joglo
Rumah
Joglo dibagi ke dalam tiga bagian/ruang. Pendapa merupakan ruangan pertemuan di
mana tuan rumah menemui para tamu. Pendopo tidak mempunyai dinding atau
terbuka, yang artinya orang Jawa ingin bersikap ramah kepada orang lain.
Umumnya, pendopo hanya diberi tikar, tanpa meja dan kursi. Tujuannya agar tidak
ada batas yang tegas antara tuan rumah dan para tamunya karena bisa berbincang
dengan rukun dan akrab.
Kemudian
ruang Pringgitan. Terletak di tengah atau ruang yang dipakai untuk mengadakan
pertunjukan wayang kulit. Secara konseptual, makna pringgitan di mana sosok
guru berdiri, adalah ruang yang melambangkan pemilik rumah sebagai simbol atau
bayang-bayang dari Dewi Sri (dewi padi)
yang memberi kehidupan kehidupan, kesuburan, dan kebahagiaan (Hidayatun,
1999:39). Menurut Rahmanu Widayat (2004: 5), pringgitan adalah ruang antara
pendhapa dan dalem (omah jero) sebagai tempat untuk pertunjukan wayang
(ringgit), pertunjukan wayang yang berhubungan dengan titual ruwatan untuk anak
sukerta (anak yang menjadi mangsa Bathara Kala, dewa raksasa yang maha hebat).
Konstruksi
Rumah Joglo
Bagian
terakhir adalah omah jero, yaitu ruang belakang atau dalem sebagai ruang
keluarga. Ruang ini memiliki beberapa bagian, yaitu ruang keluarga dan beberapa
kamar atau yang disebut senthong. Dulu, kamar atau senthong hanya dibuat tiga
kamar saja, yaitu kamar pertama untuk tidur atau istirahat laki-laki, kedua kamar
kosong namun tetap diisi tempat tidur atau amben lengkap dengan perlengkapan
tidur untuk tamu dan kebutuahn lain, dan yang ketiga diperuntukkan tempat tidur
atau istirahat bagi kaum perempuan.
Di
ruang ndhalem disimpan harta pusaka spiritual serta padi hasil panen pertama.
Juga ada kamar senthong krobongan yang berisi ranjang, kasur, bantal, dan
guling, sebagai kamar malam pertama (buka klambu) bagi para pengantin baru. Hal
tersebut dikarenakan, bagi orang Jawa, hilangnya keperawanan dan keperjakan merupakan
peristiwa kosmis yang suci, merujuk pada penyatuan Dewa Kamajaya dengan Dewi
Kama Ratih, yaitu dewa-dewi cinta perkawinan (Mangunwijaya, 1992: 108).
Dalam
rumah Jawa dari kelas bangsawan Yogyakarta, senthong krobongan diisi dengan
bermacam-macam benda-benda keramat untuk memediasi pemiliknya dengan dunia suci
(sakral). Macam-macam benda tersebut berbeda dengan benda-benda milik petani.
Artinya, kepemilikan benda tersebut
menjadi penanda adanya perbedaan status. Namun begitu, keduanya sama-sama berkaitan
dengan kesuburan, kebahagiaan rumah tangga (Wibowo dkk., 1987 : 63).
Melihat
gambaran di atas, kita melihat adanya prinsip hirarki dalam tata ruang rumah
Jawa. Setiap ruang memilii fungsi, makna dan nilai sendiri. Jejeran ruang mulai pendopo sampai bagian
belakang (pawon dan pekiwan) unsur spiritualnya lebih kuat daripada
fungsionalnya. Memasuki rumah Jawa, mulai dari teras hingga ke bagian ndhalem
ini, kita seperti sedang menuju pusat sebuah dunia dari arah pinggirannya, tak
ubahnya menangkap inti cahaya suci dari pijar pancarannya di tepian. Membangun
dan menempati rumah, dengan demikian, bagi orang Jawa merupakan sebuah ritual
alias ibadah, yang dilakukan dengan kecakapan teknis sekaligus estetis.
Sumber Referensi
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar