Minggu, 15 Februari 2015

Arsitektur dalam Penanggulangan Banjir dan Sistem Penyimpanan Air

Zaman dahulu banyak orang menerapkan prinsip “Drainase Konvensional”, yaitu system saluran air yang direncanakan untuk membuang dan mengalirkan kelebihan air langsung ke sungai dan saluran- saluran air. Akibatnya, banyak sungai yang meluap karena debit yang mengalir melebihi batas dan mengakibakan banjir dimana- mana.

Akhirnya konsep ini pun mulai ditinggalkan, dan sekarang ini telah banyak yang menerapkan prinsip “Drainase berwawasan Lingkungan”, yaitu usaha untuk tidak hanya mengalirkan air saja, tapi juga meresapkannya ke dalam tanam (water harvesting) sehingga kekeringan pun dapat diminimalisir karena muka air tanah akan bertambah.


Berikut ini beberapa prinsip drainase berwawasan lingkungan untuk menanggulangi banjir dan sebagai system penyimpan air : 

1.    Membuat lubang biopori :



Ditemukan : Ir. Kamir R. Brata, MSc. Dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, IPB. Ini merupakan rekayasa teknologi sederhana untuk meresapkan air. Kelebihannya : sederhana, murah dan mudah, efektif, efisien, dan ramah lingkungan. Dan sampai saat ini di Bogor telah ada lebih dari 22000 lubang biopori sebagai solusi untuk mengatasi banjir. Dan uniknya3000 mahasiswa ITB berpatispasidalampembuatan biopori tersebut.

2.    Sumur resapan :


Merupakan salah satu rekayasa teknik konservasi air berupa bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat menampung air hujan yang jatuh di atas atap rumah atau daerah kedap air dan meresapkannya ke dalam tanah.

Sumur resapan dinilai 4x lebih efektif dalam meresapkan air hujan daripada pohon. Karena pohon akan menguapkan kurang lebih 80% air yang diserap, sedangkan sumur resapan justru dapat meresapkan air kurang lebih 80% . Desain sumur resapan ini dapat menggunakan buis beton, dengan kedalaman 3- 4m dengan diameter 1m. Dilengkapi dengan ijuk dan pasangan batu kali pada setiap ruas sambungan buis beton sebagai filter air yang meresap.

3.    Mengganti Paving Block dengan Grass Block :


Jalan yang telah tertutup dengan paving block akan membuat air tidak dapat meresap langsung ke tanah, akibatnya air akan menggenang, dan memicu terjadinya banjir. Oleh sebab itu, penggantian paving dengan grass block dapat membantu meresapkan air hujan ke tanah lebih cepat, karena permukaannya yang berlubang. Sehingga genangan air dapat diminimalkan, air dapat diresapkan dan disimpan ke dalam tanah, serta dapat mencegah potensi terjadinya banjir.

4.    Modifikasi Lansekap :


Modifikasi lansekap untuk memanen air hujan sedang banyak dikerjakan di beberapa negara maju, seperti di Kanada, Jerman dan Jepang. Salah satu caranya adalah mengganti jaringan drainase suatu kawasan dengan cekungan- cekungan di berbagai tempat (modifikasi lansekap), sehingga air hujan akan tertampung di lokasi cekungan tersebut. Cara modifikasi lansekap  ini ternyata dapat menekan biaya konstruksi jaringan drainase suatu kawasan lebih dari 50 persen.

Di Indonesia, metode ini secara tradisional sebenarnya sudah berkembang. Masyarakat “memodifikasi lansekap” mereka dengan membuat parit- parit kecil, cekungan-cekungan dangkal di pekarangan, sengkedan/ terasering, dll

5.    Retarding Basin (Kolam retensi) :


Implementasi metode retarding basin adalah penyelesaian banjir di wilayah hilir Sungai Rhine di Eropa. Untuk mengurangi banjir yang menerjang kota- kota di wilayah Jerman dan Belanda bagian hilir, dimulailah (integriertes Rheisprogram) dengan membuat retarding basin- retarding basin di sepanjang Sungai Rhine di bagian tengah dan hulu, mulai dari kota Karslruhe (di perbatasan Perancis dan Jerman) sampai ke kota Bassel di perbatasan Jerman, Swiss, dan Austria.

Filosofi metode ini adalah mencegat air yang mengalir dari hulu dengan membuat kolam-kolam retensi (retarding basin) sebelum masuk ke hilir. Retarding basin dibuat di bagian tengah dan hulu kanan-kiri alur sungai-sungai yang masuk kawasan yang akan diselamatkan. Retarding basin harus didesain ramah lingkungan, artinya bangunannya cukup dibuat dengan mengeruk dan melebarkan bantaran sungai, memanfaatkan sungai mati atau sungai purba yang ada, memanfaatkan cekungan-cekungan, situ, dan rawa-rawa yang masih ada di sepanjang sungai, dan dengan pengerukan areal di tepi sungai untuk dijadikan kolam retarding basin.

Disarankan, dinding retarding basin tidak diperkuat pasangan batu atau beton karena selain harganya amat mahal, juga tidak ramah lingkungan dan kontraproduktif dengan ekohidraulik bantaran sungai. Desain retarding basin cukup diperkuat dengan aneka tanaman sehingga secara berkelanjutan akan meningkatkan kualitas ekologi dan konservasi air. Untuk penanganan banjir di Jakarta, retarding basin dapat dibuat di bagian tengah dan hulu dari 13 sungai yang mengalir ke jantung kota Jakarta, seperti Sungai Ciliwung, Cisadane, Mookervart, Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Kali Baru Barat, Cipinang, Sunter, dan Cakung.



Sumber Referensi :






Tidak ada komentar:

Posting Komentar