Minggu, 15 Februari 2015

Arsitektur Kolonial Bandung


Kota Bandung merupakan kota terbesar ketiga yang ada di Indonesia. Kebesaran itu tidak diperoleh secara serta-merta, namun telah melalui proses yang panjang. Dimulai dari tahun 1808 setelah pemerintahan Hindia Belanda masuk menggantikan VOC yang bangkrut, Herman Willem Daendels yang menjadi gubernur jenderalnya mengubah posisi ibukota Bandung yang mulanya di Krapyak (Bandung Selatan) menjadi Bandung Kota (Bandung Tengah). Semasa pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, pemerintah kolonial yang melihat potensi Bandung mulai mengembangkan Bandung sebagai kota yang direncanakan secara matang. Pembangunan sarana dan prasarana pun dilakukan dengan giat. Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan sederetan karya-karya arsitektur yang menjadi legenda setidaknya di Kota Bandung itu sendiri.

Dalam tulisan ini, dua bangunan kolonial yang akan menjadi sorotan utama yaitu Gedung Sate dan Gedung BI Braga Bandung. Dalam kedua bangunan ini terdapat kemiripan yakni penggunaan prinsip transformasi bentuk dalam pola perancangannya. Kedua karya arsitektur ini sama-sama membawa gaya arsitektur dari luar negeri yang dipadukan dengan prinsip arsitektur Nusantara yang pada akhirnya menciptakan arsitektur kolonial yang unik.

Menurut sejarah pembangunannya, Bank Indonesia yang semula bernama De Javasche Bank ini didirikan di Bandung untuk melindungi aset negara Hindia Belanda dari ancaman ekspansi Inggris akibat adanya perang Boer di Afrika Selatan. Keputusan untuk mendirikan cabang De Javascge Bank di Bandung dimulai dengan surat No. 165 oleh J. Reijsenbach yang merupakan presiden ke-10 De Javasche Bank. Dalam suratnya beliau meminta kepada Dewan Militer Hindia Belanda untuk membuka kantor cabang di Bandung.

Gedung Javasche Bank yang dirancang oleh Edward Cuypers, Fermont, dan Hulswit ini terdiri dari dua buah gedung. Yang pertama disebut dengan Gedung Perintis yang terletak di sisi Jalan Perintis Kemerdekaan. Sedangkan gedung kedua disebut dengan Gedung Braga yang dibangun di ruas Jalan Braga, di depan Gedung Kertamukti. Jika dilihat dari bangunannya, Gedung Perintis terlihat lebih baru, hal ini dikarenakan gedung ini sudah pernah mengalami renovasi. Gedung BI ini dibangun pada tahun 1909 dengan nama De Javasche Bank yang kemudian pada tahun 1953 diambil alih dan diresmikan sebagai Bank Indonesia. Dalam pembahasan kali ini, Gedung BI yang akan diambil sebagai objek pembahasan adalah Gedung Braga.

Sedangkan Gedung Sate pada mulanya direncanakan sebagai gedung pusat pemerintahan untuk mengakomodasi pemindahan pusat pemerintahan Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung. Gedung Sate yang dibangun dengan arsitek kepala Ir. J Gerber dengan dibantu tim kerja Kol. V.L. Slors, Ir. E. H. de Roo, dan maestro arsitek Belanda Dr. Hendrik Petrus Berlage. Dalam proses pembangunannya, proyek ini termasuk proyek yang terbesar pada jamannya, yang kabarnya menghabiskan dana sebesar enam juta gulden yang pada akhirnya disimbolkan dengan enam buah jambu air dalam bentuk sate yang terdapat pada ornamen menara Gedung Sate. Gedung Sate ini sendiri mulai dibangun pada tahun 1920, tepatnya 27 Juli 1920 dilakukan peletakan batu pertama oleh Nona Johanna Catherina Coops yang merupakan putri sulung dari Walikota Bandung B. Coops, dan Nona Petronella Roelofsen, yang mewakili Gubernur Jenderal Batavia.

Demikian sekilas mengenai sejarah dari Gedung Sate dan Gedung BI Bandung. Jika dilihat dari kedua fungsinya, keduanya yang sama-sama merupakan bangunan pemerintahan memiliki tugas untuk mencerminkan kemegahan Bandung dalam desain arsitekturnya. Hal ini terutama harus dapat dicerminkan dari tampilan luar bangunan. Maka untuk menjawab tugas tersebut, kedua bangunan ini sama-sama memakai prinsip transformasi bentuk, yakni keduanya sama-sama mengambil bentuk-bentuk arsitektur luar Indonesia yang oleh arsiteknya dianggap megah kemudian diterapkan pada masing-masing bangunan.


Sumber Referensi :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar