Kota Bandung merupakan kota terbesar ketiga yang ada di Indonesia.
Kebesaran itu tidak diperoleh secara serta-merta, namun telah melalui proses
yang panjang. Dimulai dari tahun 1808 setelah pemerintahan Hindia Belanda masuk
menggantikan VOC yang bangkrut, Herman Willem Daendels yang menjadi gubernur
jenderalnya mengubah posisi ibukota Bandung yang mulanya di Krapyak (Bandung
Selatan) menjadi Bandung Kota (Bandung Tengah). Semasa pemerintahan Hindia
Belanda di Indonesia, pemerintah kolonial yang melihat potensi Bandung mulai
mengembangkan Bandung sebagai kota yang direncanakan secara matang. Pembangunan
sarana dan prasarana pun dilakukan dengan giat. Hal inilah yang pada akhirnya
memunculkan sederetan karya-karya arsitektur yang menjadi legenda setidaknya di
Kota Bandung itu sendiri.
Dalam tulisan ini, dua bangunan kolonial yang akan menjadi sorotan utama
yaitu Gedung Sate dan Gedung BI Braga Bandung. Dalam kedua bangunan ini
terdapat kemiripan yakni penggunaan prinsip transformasi bentuk dalam pola
perancangannya. Kedua karya arsitektur ini sama-sama membawa gaya arsitektur
dari luar negeri yang dipadukan dengan prinsip arsitektur Nusantara yang pada
akhirnya menciptakan arsitektur kolonial yang unik.
Menurut sejarah pembangunannya, Bank Indonesia yang semula bernama De
Javasche Bank ini didirikan di Bandung untuk melindungi aset negara Hindia
Belanda dari ancaman ekspansi Inggris akibat adanya perang Boer di Afrika
Selatan. Keputusan untuk mendirikan cabang De Javascge Bank di Bandung dimulai
dengan surat No. 165 oleh J. Reijsenbach yang merupakan presiden ke-10 De
Javasche Bank. Dalam suratnya beliau meminta kepada Dewan Militer Hindia
Belanda untuk membuka kantor cabang di Bandung.
Gedung Javasche Bank yang dirancang oleh Edward Cuypers, Fermont, dan
Hulswit ini terdiri dari dua buah gedung. Yang pertama disebut dengan Gedung
Perintis yang terletak di sisi Jalan Perintis Kemerdekaan. Sedangkan gedung
kedua disebut dengan Gedung Braga yang dibangun di ruas Jalan Braga, di depan
Gedung Kertamukti. Jika dilihat dari bangunannya, Gedung Perintis terlihat
lebih baru, hal ini dikarenakan gedung ini sudah pernah mengalami renovasi.
Gedung BI ini dibangun pada tahun 1909 dengan nama De Javasche Bank yang
kemudian pada tahun 1953 diambil alih dan diresmikan sebagai Bank Indonesia.
Dalam pembahasan kali ini, Gedung BI yang akan diambil sebagai objek pembahasan
adalah Gedung Braga.
Sedangkan Gedung Sate pada mulanya direncanakan sebagai gedung pusat
pemerintahan untuk mengakomodasi pemindahan pusat pemerintahan Hindia Belanda
dari Batavia ke Bandung. Gedung Sate yang dibangun dengan arsitek kepala Ir. J
Gerber dengan dibantu tim kerja Kol. V.L. Slors, Ir. E. H. de Roo, dan maestro
arsitek Belanda Dr. Hendrik Petrus Berlage. Dalam proses pembangunannya, proyek
ini termasuk proyek yang terbesar pada jamannya, yang kabarnya menghabiskan
dana sebesar enam juta gulden yang pada akhirnya disimbolkan dengan enam buah
jambu air dalam bentuk sate yang terdapat pada ornamen menara Gedung Sate.
Gedung Sate ini sendiri mulai dibangun pada tahun 1920, tepatnya 27 Juli 1920
dilakukan peletakan batu pertama oleh Nona Johanna Catherina Coops yang
merupakan putri sulung dari Walikota Bandung B. Coops, dan Nona Petronella
Roelofsen, yang mewakili Gubernur Jenderal Batavia.
Demikian sekilas mengenai sejarah dari Gedung Sate dan Gedung BI
Bandung. Jika dilihat dari kedua fungsinya, keduanya yang sama-sama merupakan
bangunan pemerintahan memiliki tugas untuk mencerminkan kemegahan Bandung dalam
desain arsitekturnya. Hal ini terutama harus dapat dicerminkan dari tampilan
luar bangunan. Maka untuk menjawab tugas tersebut, kedua bangunan ini sama-sama
memakai prinsip transformasi bentuk, yakni keduanya sama-sama mengambil bentuk-bentuk
arsitektur luar Indonesia yang oleh arsiteknya dianggap megah kemudian
diterapkan pada masing-masing bangunan.
Sumber
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar