Masa jabatan
2 September 1945 – 14 November 1945 |
|
Presiden
|
|
Didahului
oleh
|
Tidak
ada, jabatan baru
|
Digantikan
oleh
|
|
Informasi pribadi
|
|
Lahir
|
|
Meninggal
|
|
Agama
|
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi
Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki
Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar
Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar
Dewantoro; lahir di Yogyakarta,
2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun; selanjutnya disingkat
sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan
Indonesia, kolumnis, politisi,
dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman
penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga
pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa
memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di
Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut
wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia.
Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI
Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000
rupiah tahun emisi 1998.
Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang
ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno,
pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959)
Masa muda dan awal karier
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton
Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian
sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter
Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai
penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal.
Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.
Aktivitas pergerakan
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia
juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun
1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah
kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai
pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama
BO di Yogyakarta juga
diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi
Insulinde, suatu organisasi
multietnik yang didominasi kaum Indo yang
memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest
Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij,
Soewardi diajaknya pula.
Als ik een Nederlander was
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat
mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan
Belanda dari Perancis pada tahun 1913,
timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian
menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu
untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling
terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli:
"Als ik een Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di
kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai
berikut.
"Sekiranya aku seorang
Belanda, aku tidak akan
menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas
sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak
adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan
sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja
sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan
saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang
terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan
bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada
kepentingan sedikit pun baginya".
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan
ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari
tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis, mereka
menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya
demikian.
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas
persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg
dan akan diasingkan ke Pulau
Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD
dan Tjipto
Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke
Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai".
Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.
Dalam pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif
dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische
Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya
memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche
Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan
dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini
Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel
dan Montessori,
serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga
Tagore. Pengaruh-pengaruh
inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan
September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya.
Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep
mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40
tahun menurut hitungan penanggalan
Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak
lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan
supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang
dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh,
semboyan itu dalam bahasa Jawa
berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi
dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat
Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Pengabdian pada masa Indonesia merdeka
Patung
Ki Hajar Dewantara
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD
diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia
(posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang
pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa,
Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas
Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia
dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya
dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun
1959, tanggal 28 November 1959).
Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26
April 1959 dan dimakamkan di Taman
Wijaya Brata.
Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar